KOMPOSIT SERBUK KAYU PLASTIK DAUR ULANG : TEKNOLOGI ALTERNATIF PEMANFAATAN LIMBAH KAYU DAN PLASTIK
Oleh: Dina SetyawatiEmail: d.setyawati@eudoramail.com
PENDAHULUAN
Karena sifat dan karakteristiknya yang unik, kayu merupakan bahan yang paling banyak digunakan untuk keperluan konstruksi. Kebutuhan kayu yang terus meningkat dan potensi hutan yang terus berkurang menuntut penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana, antara lain dengan memanfaatkan limbah berupa serbuk kayu menjadi produk yang bermanfaat. Di lain pihak, seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik terus meningkat Sebagai konsekuensinya, peningkatan limbah plastikpun tidak terelakkan. Limbah plastik merupakan bahan yang tidak dapat terdekomposisi oleh mikroorganisme pengurai (non biodegradable), sehingga penumpukkannya di alam dikhawatirkan akan menimbulkan masalah lingkungan.
Perkembangan teknologi, khususnya di bidang papan komposit, telah menghasilkan produk komposit yang merupakan gabungan antara serbuk kayu dengan plastik daur ulang. Teknologi ini berkembang pada awal 1990-an di Jepang dan Amerika Serikat. Dengan teknologi ini dimungkinkan pemanfaatan serbuk kayu dan plastik daur ulang secara maksimal, dengan demikian akan menekan jumlah limbah yang dihasilkan. Di Indonesia penelitian tentang produk ini sangat terbatas, padahal bahan baku limbah potensinya sangat besar.
Tulisan ini akan memaparkan secara singkat mengenai potensi dan pemanfaatan limbah kayu, khususnya serbuk kayu, dan limbah plastik sebagai produk komposit serbuk kayu-plastik daur ulang.
POTENSI DAN PEMANFAATAN LIMBAH SERBUK KAYU
Kebutuhan manusia akan kayu sebagai bahan bangunan baik untuk keperluan konstruksi, dekorasi, maupun furniture terus meningkat seiring dengan meningkatnya jumlah penduduk. Kebutuhan kayu untuk industri perkayuan di Indonesia diperkirakan sebesar 70 juta m3 per tahun dengan kenaikan rata-rata sebesar 14,2 % per tahun sedangkan produksi kayu bulat diperkirakan hanya sebesar 25 juta m3 per tahun, dengan demikian terjadi defisit sebesar 45 juta m3 (Priyono,2001). Hal ini menunjukkan bahwa sebenarnya daya dukung hutan sudah tidak dapat memenuhi kebutuhan kayu. Keadaan ini diperparah oleh adanya komversi hutan alam menjadi lahan pertanian, perladangan berpindah, kebakaran hutan, praktek pemanenan yang tidak efisen dan pengembangan infrastruktur yang diikuti oleh perambahan hutan. Kondisi ini menuntut penggunaan kayu secara efisien dan bijaksana, antara lain melalui konsep the whole tree utilization, disamping meningkatkan penggunaan bahan berlignoselulosa non kayu, dan pengembangan produk-produk inovatif sebagai bahan bangunan pengganti kayu.
Patut disayangkan, sampai saat ini kegiatan pemanenan dan pengolahan kayu di Indonesia masih menghasilkan limbah dalam jumlah besar. Purwanto dkk, (1994) menyatakan komposisi limbah pada kegiatan pemanenan dan industri pengolahan kayu adalah sebagai berikut :
1. Pada pemanenan kayu, limbah umumnya berbentuk kayu bulat, mencapai 66,16%
2. Pada industri penggergajian limbah kayu meliputi serbuk gergaji 10,6&. Sebetan 25,9% dan potongan 14,3%, dengan total limbah sebesar 50,8% dari jumlah bahan baku yang digubakan
3. Limbah pada industri kayu lapis meliputi limbah potongan 5,6%, serbuk gergaji 0,7%, sampah vinir basah 24,8%, sampah vinir kering 12,6% sisa kupasan 11,0% dan potongan tepi kayu lapis 6,3%. Total limbah kayu lapis ini sebesar 61,0% dari jumlah bahan baku yang digunakan.
Data Departemen Kehutanan dan Perkebunan tahun 1999/2000 menunjukkan bahwa produksi kayu lapis Indonesia mencapai 4,61 juta m3 sedangkan kayu gergajian mencapai 2,06 juta m3. Dengan asumsi limbah yang dihasilkan mencapai 61% maka diperkirakan limbah kayu yang dihasilkan mencapai lebih dari 5 juta m3 (BPS, 2000).
Limbah kayu berupa potongan log maupun sebetan telah dimanfaatkan sebagai inti papan blok dan bahan baku papan partikel. Adapun limbah berupa serbuk kergaji pemanfaatannya masih belum optimal. Untuk industri besar dan terpadu, limbah serbuk kayu gergajian sudah dimanfaatkan menjadi bentuk briket arang dan arang aktif yang dijual secara komersial. Namun untuk industri penggergajian kayu skala industri kecil yang jumlahnya mencapai ribuan unit dan tersebar di pedesaan, limbah ini belum dimanfaatkan secara optimal. Sebagai contoh adalah pada industri penggergajian di Jambi yang berjumlah 150 buah yang kesemuanya terletak ditepi sungai Batanghari, limbah kayu gergajian yang dihasilkan dibuang ke tepi sungai tersebut sehingga terjadi proses pendangkalan dan pengecilan ruas sungai (Pari, 2002). Pada industri pengolahan kayu sebagian limbah serbuk kayu biasanya digunakan sebagai bahan bakar tungku, atau dibakar begitu saja tanpa penggunaan yang berarti, sehingga dapat menimbulkan pencemaran lingkungan (Febrianto,1999). Dalam rangka efisiensi penggunaan kayu perlu diupayakan pemanfaatan serbuk kayu menjadi produk yang lebih bermanfaat.
DARI LIMBAH PLASTIK KE PLASTIK DAUR ULANG
Nama plastik mewakili ribuan bahan yang berbeda sifat fisis, mekanis, dan kimia. Secara garis besar plastik dapat digolongkan menjadi dua golongan besar, yakni plastik yang bersifat thermoplastic dan yang bersifat thermoset. Thermoplastic dapat dibentuk kembali dengan mudah dan diproses menjadi bentuk lain, sedangkan jenis thermoset bila telah mengeras tidak dapat dilunakkan kembali. Plastik yang paling umum digunakan dalam kehidupan sehari-hari adalah dalam bentuk thermoplastic.
Seiring dengan perkembangan teknologi, kebutuhan akan plastik terus meningkat. Data BPS tahun 1999 menunjukkan bahwa volume perdagangan plastik impor Indonesia, terutama polipropilena (PP) pada tahun 1995 sebesar 136.122,7 ton sedangkan pada tahun 1999 sebesar 182.523,6 ton, sehingga dalam kurun waktu tersebut terjadi peningkatan sebesar 34,15%. Jumlah tersebut diperkirakan akan terus meningkat pada tahun-tahun selanjutnya. Sebagai konsekuensinya, peningkatan limbah plastikpun tidak terelakkan. Menurut Hartono (1998) komposisi sampah atau limbah plastik yang dibuang oleh setiap rumah tangga adalah 9,3% dari total sampah rumah tangga. Di Jabotabek rata-rata setiap pabrik menghasilkan satu ton limbah plastik setiap minggunya. Jumlah tersebut akan terus bertambah, disebabkan sifat-sifat yang dimiliki plastik, antara lain tidak dapat membusuk, tidak terurai secara alami, tidak dapat menyerap air, maupun tidak dapat berkarat, dan pada akhirnya akhirnya menjadi masalah bagi lingkungan. (YBP, 1986).
Pemanfaatan limbah plastik merupakan upaya menekan pembuangan plastik seminimal mungkin dan dalam batas tertentu menghemat sumber daya dan mengurangi ketergantungan bahan baku impor. Pemanfaatan limbah plastik dapat dilakukan dengan pemakaian kembali (reuse) maupun daur ulang (recycle). Di Indonesia, pemanfaatan limbah plastik dalam skala rumah tangga umumnya adalah dengan pemakaian kembali dengan keperluan yang berbeda, misalnya tempat cat yang terbuat dari plastik digunakan untuk pot atau ember. Sisi jelek pemakaian kembali, terutama dalam bentuk kemasan adalah sering digunakan untuk pemalsuan produk seperti yang seringkali terjadi di kota-kota besar (Syafitrie, 2001).
Pemanfaatan limbah plastik dengan cara daur ulang umumnya dilakukan oleh industri. Secara umum terdapat empat persyaratan agar suatu limbah plastik dapat diproses oleh suatu industri, antara lain limbah harus dalam bentuk tertentu sesuai kebutuhan (biji, pellet, serbuk, pecahan), limbah harus homogen, tidak terkontaminasi, serta diupayakan tidak teroksidasi. Untuk mengatasi masalah tersebut, sebelum digunakan limbah plastik diproses melalui tahapan sederhana, yaitu pemisahan, pemotongan, pencucian, dan penghilangan zat-zat seperti besi dan sebagainya (Sasse et al.,1995).
Terdapat hal yang menguntungkan dalam pemanfaatan limbah plastik di Indonesia dibandingkan negara maju. Hal ini dimungkinkan karena pemisahan secara manual yang dianggap tidak mungkin dilakukan di negara maju, dapat dilakukan di Indonesia yang mempunyai tenaga kerja melimpah sehingga pemisahan tidak perlu dilakukan dengan peralatan canggih yang memerlukan biaya tinggi. Kondisi ini memungkinkan berkembangnya industri daur ulang plastik di Indonesia (Syafitrie, 2001).
Pemanfaatan plastik daur ulang dalam pembuatan kembali barang-barang plastik telah berkembang pesat. Hampir seluruh jenis limbah plastik (80%) dapat diproses kembali menjadi barang semula walaupun harus dilakukan pencampuran dengan bahan baku baru dan additive untuk meningkatkan kualitas (Syafitrie, 2001). Menurut Hartono (1998) empat jenis limbah plastik yang populer dan laku di pasaran yaitu polietilena (PE), High Density Polyethylene (HDPE), polipropilena (PP), dan asoi.
PEMANFAATAN LIMBAH KAYU DAN PLASTIK SEBAGAI KOMPOSIT SERBUK KAYU PLASTIK DAUR ULANG
Komposit kayu merupakan istilah untuk menggambarkan setiap produk yang terbuat dari lembaran atau potongan–potongan kecil kayu yang direkat bersama-sama (Maloney,1996). Mengacu pada pengertian di atas, komposit serbuk kayu plastik adalah komposit yang terbuat dari plastik sebagai matriks dan serbuk kayu sebagai pengisi (filler), yang mempunyai sifat gabungan keduanya. Penambahan filler ke dalam matriks bertujuan mengurangi densitas, meningkatkan kekakuan, dan mengurangi biaya per unit volume. Dari segi kayu, dengan adanya matrik polimer didalamnya maka kekuatan dan sifat fisiknya juga akan meningkat (Febrianto, 1999).
Pembuatan komposit dengan menggunakan matriks dari plastik yang telah didaur ulang, selain dapat meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu, juga dapat mengurangi pembebanan lingkungan terhadap limbah plastik disamping menghasilkan produk inovatif sebagai bahan bangunan pengganti kayu. Keunggulan produk ini antara lain : biaya produksi lebih murah, bahan bakunya melimpah, fleksibel dalam proses pembuatannya, kerapatannya rendah, lebih bersifat biodegradable (dibanding plastik), memiliki sifat-sifat yang lebih baik dibandingkan bahan baku asalnya, dapat diaplikasikan untuk berbagai keperluan, serta bersifat dapat didaur ulang (recycleable). Beberapa contoh penggunaan produk ini antara lain sebagai komponen interior kendaraan (mobil, kereta api, pesawat terbang), perabot rumah tangga, maupun komponen bangunan (jendela, pintu, dinding, lantai dan jembatan) (Febrianto, 1999: Youngquist, 1995).
Serbuk kayu sebagai Filler
Filler ditambahkan ke dalam matriks dengan tujuan meningkatkan sifat-sifat mekanis plastik melalui penyebaran tekanan yang efektif di antara serat dan matriks (Han, 1990). Selain itu penambahan filler akan mengurangi biaya disamping memperbaiki beberapa sifat produknya.
Bahan-bahan inorganik seperti kalsium karbonat, talc, mika, dan fiberglass merupakan bahan yang paling banyak digunakan sebagai filler dalam industri plastik. Penambahan kalsium karbonat, mika dan talc dapat meningkatkan kekuatan plastik, tetapi berat produk yang dihasilkan juga meningkat sehingga biaya pengangkutan menjadi lebih tinggi. Selain itu, kalsium karbonat dan talc bersifat abrasif terhadap peralatan yang digunakan, sehingga memperpendek umur pemakaian. Penambahan fiberglass dapat meningkatkan kekuatan produk tetapi harganya sangat mahal. Karena itu penggunaan bahan organik, seperti kayu sebagai filler dalam industri plastik mulai mendapat perhatian. Di Indonesia potensi kayu sebagai filler sangat besar, terutama limbah serbuk kayu yang pemanfaatannya masih belum optimal.
Menurut Strak dan Berger (1997), serbuk kayu memiliki kelebihan sebagai filler bila dibandingkan dengan filler mineral seperti mika, kalsium karbonat, dan talk yaitu: temperatur proses lebih rendah (kurang dari 400ºF) dengan demikian mengurangi biaya energi, dapat terdegradasi secara alami, berat jenisnya jauh lebih rendah, sehingga biaya per volume lebih murah, gaya geseknya rendah sehingga tidak merusak peralatan pada proses pembuatan, serta berasal dari sumber yang dapat diperbaharui
Beberapa faktor yang perlu diperhatikan dalam pemanfaatan serbuk kayu sebagai filler dalam pembuatan komposit kayu plastik adalah jenis kayu, ukuran serbuk serta nisbah antara serbuk kayu dan plastik. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah sifat dasar dari serbuk kayu itu sendiri. Kayu merupakan bahan yang sebagian besar terdiri dari selulosa (40-50%), hemiselulosa (20-30%), lignin (20-30%), dan sejumlah kecil bahan-bahan anorganik dan ekstraktif. Karenanya kayu bersifat hidrofilik, kaku, serta dapat terdegradasi secara biologis. Sifat-sifat tersebut menyebabkan kayu kurang sesuai bila digabungkan dengan plastik, karena itu dalam pembuatan komposit kayu-plastik diperlukan bantuan coupling agent (Febrianto,1999).
Plastik Daur Ulang Sebagai Matriks
Di Indonesia, plastik daur ulang sebagian besar dimanfaatkan kembali sebagai produk semula dengan kualitas yang lebih rendah. Pemanfaatan plastik daur ulang sebagai bahan konstruksi masih sangat jarang ditemui. Pada tahun 1980 an, di Inggris dan Italia plastik daur ulang telah digunakan untuk membuat tiang telepon sebagai pengganti tiang-tiang kayu atau besi. Di Swedia plastik daur ulang dimanfaatkan sebagai bata plastik untuk pembuatan bangunan bertingkat, karena ringan serta lebih kuat dibandingkan bata yang umum dipakai (YBP, 1986).
Pemanfaatan plastik daur ulang dalam bidang komposit kayu di Indonesia masih terbatas pada tahap penelitian. Ada dua strategi dalam pembuatan komposit kayu dengan memanfaatkan plastik, pertama plastik dijadikan sebagai binder sedangkan kayu sebagai komponen utama; kedua kayu dijadikan bahan pengisi/filler dan plastik sebagai matriksnya. Penelitian mengenai pemanfaatan plastik polipropilena daur ulang sebagai substitusi perekat termoset dalam pembuatan papan partikel telah dilakukan oleh Febrianto dkk (2001). Produk papan partikel yang dihasilkan memiliki stabilitas dimensi dan kekuatan mekanis yang tinggi dibandingkan dengan papan partikel konvensional. Penelitian plastik daur ulang sebagai matriks komposit kayu plastik dilakukan Setyawati (2003) dan Sulaeman (2003) dengan menggunakan plastik polipropilena daur ulang. Dalam pembuatan komposit kayu plastik daur ulang, beberapa polimer termoplastik dapat digunakan sebagai matriks, tetapi dibatasi oleh rendahnya temperatur permulaan dan pemanasan dekomposisi kayu (lebih kurang 200°C).
Proses Pembuatan
Pada dasarnya pembuatan komposit serbuk kayu plastik daur ulang tidak berbeda dengan komposit dengan matriks plastik murni. Komposit ini dapat dibuat melalui proses satu tahap, proses dua tahap, maupun proses kontinyu. Pada proses satu tahap, semua bahan baku dicampur terlebih dahulu secara manual kemudian dimasukkan ke dalam alat pengadon (kneader) dan diproses sampai menghasilkan produk komposit. Pada proses dua tahap bahan baku plastik dimodifikasi terlebih dahulu, kemudian bahan pengisi dicampur secara bersamaan di dalam kneader dan dibentuk menjadi komposit. Kombinasi dari tahap-tahap ini dikenal dengan proses kontinyu. Pada proses ini bahan baku dimasukkan secara bertahap dan berurutan di dalam kneader kemudian diproses sampai menjadi produk komposit (Han dan Shiraishi, 1990). Umumnya proses dua tahap menghasilkan produk yang lebih baik dari proses satu tahap, namun proses satu tahap memerlukan waktu yang lebih singkat.
Diagram proses dasar pembuatan produk disajikan pada gambar 1.
Penyiapan filler
Pada prinsipnya penyiapan filler ditujukan untuk mendapatkan serbuk kayu atau tepung kayu dengan ukuran dan kadar air yang seragam. Makin halus serbuk semakin besar kontak permukaan antara filler dengan matriknya, sehingga produk menjadi lebih homogen. Akan tetapi, bila ditinjau dari segi dekoratif, komposit dengan ukuran serbuk yang lebih besar akan menghasilkan penampakkan yang lebih baik karena sebaran serbuk kayunya memberikan nilai tersendiri.
Penyiapan Plastik Daur Ulang
Limbah plastik dikelompokkan sesuai dengan jenis plastiknya (polipropilena (PP),polietilena (PE), dan sebagainya). Setelah dibersihkan, limbah tersebut dicacah untuk memperkecil ukuran, selanjutnya dipanaskan sampai titik lelehnya, kemudian diproses hingga berbentuk pellet. Sebelum digunakan sebagai matriks komposit dilakukan analis termal diferensial (DTA). Pada proses dua tahap, pellet tersebut diblending terlebih dahulu dengan coupling agent sehingga berfungsi sebagai compatibilizer dalam pembuatan komposit.
Blending (Pengadonan)
Tahap-tahap dalam pengadonan ini disesuaikan dengan proses yang digunakan, satu tahap, dua tahap, atau kontinyu. Menurut Han (1990) kondisi pengadonan yang paling berpengaruh dalam pembuatan komposit adalah suhu, laju rotasi, dan waktu pengadonan.
Pembentukan komposit
Setelah proses pencampuran selesai, sampel langsung dikeluarkan untuk dibentuk menjadi lembaran dengan kempa panas. Pengempaan dilakukan selama 2,5 - 3 menit dengan tekanan sebesar 100 kgf/cm2 selama 30 detik pada suhu 170ºC - 190ºC. Setelah dilakukan pengempaan dingin pada tekanan yang sama selama 30 detik, lembaran kemudian didinginkan pada suhu kamar.
Pengujian Komposit
Pengujian komposit dilakukan untuk mengetahui apakah produk yang dihasilkan telah memenuhi persyaratan yang ditentukan untuk suatu penggunaan tertentu. Jenis pengujian disesuaikan dengan kebutuhan, umumnya meliputi pengujian fterhadap sifat fisis, mekanis, serta thermal komposit.
Komposit yang berkualitas tinggi hanya dapat dicapai bila serbuk kayu terdistribusi dengan baik di dalam matriks. Dalam kenyataannya, afinitas antara serbuk kayu dengan plastik sangat rendah karena kayu bersifat hidrofilik sedangkan plastik bersifat hidrofobik. Akibatnya komposit yang terbentuk memiliki sifat-sifat pengaliran dan moldability yang rendah dan pada gilirannya dapat menurunkan kekuatan bahan (Han, 1990).
Hasil-hasil Penelitian
Penelitian-penelitian yang telah dan sedang dilakukan bertujuan untuk menghasilkan komposit kayu plastik dengan sifat-sifat yang terbaik. Han (1990), Stark & Berger (1997), dan Oksman & Clemons (1997), meneliti faktor- faktor yang berperan penting dalam pembuatan komposit serbuk kayu plastik, yaitu tipe dan bentuk bahan baku, jenis kayu, nisbah filler dengan matriks, jenis dan kadar compatibilizer, serta kondisi pada saat pengadonan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sampai batas tertentu terjadi peningkatan kekuatan komposit dengan makin kecil ukuran serbuk yang digunakan, demikian juga tipe, nisbah serbuk kayu dan plastik, kadar air serta jenis kayu berpengaruh nyata terhadap sifat-sifat komposit yang dihasilkan. Penambahan compatibilizer sampai batas tertentu berpengaruh baik terhadap kekuatan komposit.
Penelitian mengenai komposit kayu plastik sebagian besar masih menggunakan plastik murni sebagai matriks. Penelitian dengan menggunakan matriks daur ulang, dilakukan oleh Setyawati (2003), Sulaeman (2003) dengan menggunakan polipropilena daur ulang. Hasil- hasil penelitian dirangkum sebagai berikut :
Setyawati (2003) meneliti pengaruh ukuran nisbah serbuk kayu dengan matriks, serta kadar compatibilizer terhadap sifat fisis dan mekanis komposit kayu polipropilena daur ulang. Hasil penelitian menunjukkan pola yang sama dengan komposit yang menggunakan polipropilena murni, yaitu sifat–sifat komposit meningkat dengan makin halusnya ukuran partikel. Nisbah serbuk kayu dengan matriks sebesar 50:50 dengan penambahan MAH 2,5% sebagai compatibilizer disertai dengan penambahan inisiator menghasilkan kekuatan komposit yang optimal, disamping sifat-sifat fisis yang memadai.
Sulaeman (2003), meneliti deteriorasi komposit kayu plastik polipropilena daur ulang oleh cuaca dan rayap. Hasil penelitian menunjukkan komposit kayu plastik daur ulang dapat terdegradasi oleh cuaca, akan tetapi tahan terhadap serangan rayap.
Penelitian Yang Sedang/ Akan Dilakukan
Penelitian dan pengujian komposit kayu plastik sampai sejauh ini masih dalam bentuk lembaran tipis, sehingga pengujiannya masih mengacu pada pengujian plastik. Saat ini Sutrisno (komunikasi pribadi) sedang melakukan penelitian mengenai sifat-sifat komposit kayu plastik daur ulang dalam bentuk small clear specimen sehingga pengujian diarahkan kepada kemungkinan penggunaan komposit sebagai pengganti kayu.
Penelitian selanjutnya akan mengarah pada penentuan proses pembuatan papan komposit kayu plastik yang terbaik serta peningkatan mutu papan komposit melalui perlakuan pendahuluan pada filler, pemilihan modifier/compatibilizer, inisiator, penentuan variabel-variabel proses, maupun pemanfaatan bahan-bahan berlignoselulosa selain kayu (rencana penelitian).
PENUTUP
Pembuatan produk komposit serbuk kayu dan plastik daur ulang merupakan salah satu alternatif pemanfaatan limbah kayu dan plastik, dalam rangka meningkatkan efisiensi pemanfaatan kayu, mengurangi pembebanan lingkungan terhadap limbah plastik serta menghasilkan produk-produk inovatif sebagai bahan bangunan pengganti kayu. Pengembangan produk ini di masa datang diharapkan akan memberikan dampak positif, bukan hanya terbatas pada pengembangan industri dan penghematan devisa, tetapi juga memperbaiki kualitas lingkungan hidup.
DAFTAR PUSTAKA
[BPS] Badan Pusat Statistik. 1999. Statistik Perdagangan Luar Negeri Indonesia : Impor. Jakarta
[DepHutBun] Departemen Kehutanan dan Perkebunan. 2000. Statistik Kehutanan Indonesia. Direktorat Jendral PHP. Jakarta
Febrianto F. 1999. Preparation And Properties Enhancement Of Moldable Wood – Biodegradable Polymer Composites. [Disertasi]. Kyoto: Kyoto University, Doctoral Dissertation.Division of Forestry and Bio-material Science. Faculty of Agriculture. Tidak dipublikasikan
Febrianto F, Y.S. Hadi, dan M. Karina. 2001. Teknologi produksi recycle komposit bemutu tinggi dari limbah kayu dan plastik : Sifat-sifat papan partikel pada berbagai nisbah campuran serbuk dan plastik polipropilene daur ulang dan ukuran serbuk. Laporan Akhir Hibah Bersaing IX/1. direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, Departemen Pendidikan Nasional.
Han GS. 1990. Preparation and Physical Properties Of Moldable Wood Plastic Composites. [Disertasi]. Kyoto: Kyoto University. Departement Of Wood Science and Technology, Faculty of Agriculture.
Han GS, Shiraishi N. 1990. Composites of wood and polypropylen IV. Wood Research Sociaty at Tsubuka 36(11): 976-982.
Hartono ACK. 1998. Daur Ulang Limbah Plastik dalam Pancaroba : Diplomasi Ekonomi dan Pendidikan. Dana Mitra Lingkungan. Jakarta
Maloney TM. 1993. Modern Particleboard and Dry-Process Fiberboard Manufacturing. San Fransisco: Miller Freeman, Inc.
Meier JF. 1996. Fundamentals of plastics and elastomer. Di dalam: Handbook of Plastic, Elastomer and Composites. Ed ke-3. New York: McGraw-Hill Co.
Oksman K, Clemons C. 1997. Effect of elastomers and coupling agent on impact performance of wood flour-filled polypropilene. Di dalam: Fourth International Conference on Woodfiber-Plastic Composites. Madison, 12 –14 Mei 1997. Wisconsin: Forest Product Sociaty. hlm 144-155.
Pari G. 2002. Teknologi Alternatif Pemanfaatan Limbah Industri Pengolahan Kayu. Makalah M.K. Falsafah Sains. Program Pascasarjana IPB, Bogor.
Priyono SKS. 2001. Komitmen Berbagai Pihak dalam Menanggulangi Illegal Logging. Konggres Kehutanan Indonesia III. Jakarta
Purwanto D, Samet, Mahfuz, dan Sakiman. 1994. Pemanfaatan Limbah Industri Kayu lapis untuk Papan Partikel Buatan secara Laminasi. DIP Proyek Penelitian dan Pengembangan Industri. Badan Penelitian dan Pengembangan Industri. Departemen Perindustrian. Banjar Baru
Sasse HR, Lehmkamper O, Kwasny-Echterhagen R. 1995. Polymer granulates for masonry mortars and outdoor plaster. Di dalam: Ohama Y, editor. Disposal and Recycling of Organic and Polymeric Construction Materials. Proceeding of the International RILEM Workshop. Tokyo: 26-28 Maret 1995. Chapman & Hall. hlm 75-85.
Setyawati,D. 2003. Sifat Fisis dan Mekanis Komposit Serbuk Kayu Plastik Polipropilena Daur Ulang. [Thesis]. Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan)
Strak NM, Berger MJ. 1997. Effect of particle size on properties of wood-flour reinforced polypropylene composites. Di dalam: Fourth International Conference on Woodfiber-Plastic Composites. Madison, 12 –14 Mei 1997. Wisconsin: Forest Product Sociaty. hlm 134-143.
Sulaeman, R. 2003. Deteriorasi Komposit Serbuk Kayu Plastik Polipropilena Daur Ulang Oleh Cuaca Dan Rayap. [Thesis] Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor (tidak dipublikasikan)
Syahfitrie, C. 2001. Analisis Aspek Sosial Ekonomi Pemanfaatan Limbah Plastik. [Thesis] Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor (tidak dipublikasikan)
[YBP] Yayasan Bina Pembangunan. 1986. Barometer Bisnis Plastik Indonesia. Jakarta
Youngquist JA. 1995. Unlikely partners? the marriage of wood and non wood materials. Forest Product Journal 45(10): 25-30.
..Read More..Baca Selengkapnya..
REUSABLE SANITARY LANDFILL, ALTERNATIF PENGOLAHAN SAMPAH JAKARTA
By: Fitri OktariniBadan Pengkajian dan Pengembangan Tekhnologi (BPPT) menciptakan sistem baru untuk mengatasi permasalahan sampah di Indonesia. Namanya Reusable Sanitary Landfill. Sebenarnya, sistem ini merupakan penyempurna sistem yang pernah diterapkan di Tempat Pembuangan Akhir Bantar Gebang. Kalau RSL diterapkan di Jakarta, dipastikan Jakarta tidak perlu mengotak-atik tata ruang kota atau mengambil lahan daerah lain.
Arsitek dan Insinyur Tekhnologi BPPT, Dipl. –Ing. Ir H. B. Henky Sutanto menjelaskan Reusable Sanitary Landfill (RSL) adalah sebuah sistem pengolahan sampah yang berkesinambungan dengan menggunakan metode Supply Ruang Penampungan Sampah Padat. RSL diyakini Henky bisa mengontrol emisi liquid, atau air rembesan sampai sehingga tidak mencemari air tanah.
Sistem ini mampu mengontrol emisi gas metan, karbondioksida atau gas berbahaya lainnya akibat proses pemadatan sampah. RSL juga bisa mengontrol populasi lalat di sekitar TPA. Sehingga mencegah penebaran bibit penyakit.
Cara kerjanya, di RSL, sampah ditumpuk dalam satu lahan. Lahan tempat sampah tersebut sebelumnya digali dan tanah liatnya dipadatkan. Lahan ini desbut ground liner. Usai tanah liat dipadatkan, tanah kemudian dilapisi dengan geo membran, lapisan mirip plastik berwarna yang dengan ketebalan 2,5 milimeter yang terbuat dari High Density Polyitilin, salah satu senyawa minyak bumi. Lapisan ini lah yang nantinya akan menahan air lindi (air kotor yang berbau yang berasal dari sampah), sehingga tidak akan meresap ke dalam tanah dan mencemari air tanah. Di atas lapisan geo membran dilapisi lagi geo textile yang gunanya memfilter kotoran sehingga tidak bercampur dengan air lindi. Secara berkala air lindi ini dikeringkan.
Sebelum dipadatkan, sampah yang menumpuk diatas lapisan geo textille ini kemudian ditutup dengan menggunakan lapisan geo membran untuk mencegah menyebarnya gas metan akibat proses pembusukan sampah (yang dipadatkan) tanpa oksigen.
Geo membran ini juga akan menyerap panas dan membantu proses pembusukan. Radiasinya akan dipastikan dapat membunuh lalat dan telur-telurnya di sekitar sampah. Sementara hasil pembusukan samapah dalam bentuk kompos bisa dijual.
Gas metan ini juga yang pada akhirnya digunakan untuk memanaskan air hujan yang sebelumnya ditampung untuk mencuci truk-truk pengangkut sampah. Henky yakin jika truk sampah yang bentuknya tertutup dicuci setiap kali habis mengangkut sampah, tidak akan menebarkan bau ke lokasi TPA.
Pengolahan sampah dengan sistem ini sebenarnya sama saja dengan yang sudah dilaksanakan TPA Bantar Gebang. Hanya saja, pada Zona I TPA Bantar Gerbang, groun lner tidak menggunakan geo membran untuk menahan air lindi. Dan terjadi kebocoran yang menyebabkan pencemaran air serta pencemaran udara.
Jika, TPA Bantar Gebang direhabilitasi kemudian pola pengolahannya digantikan dengan RSL, pemerintah daerah Jakarta, emnurut Henky tidak perlu mencari lokasi baru untuk menampung sampah. Karena sampah dapat diolah secara berkesinambungan dan sistem di ground liner bisa diperbaiki secara berkala.
INFORMASI TAMBAHAN DARI BP. HENKY:
Jika kapasitas olah sampah ditetapkan 3000 ton/hari dan Tipping Fee dinaikkan dari sekarang RP 60.070/ton menjadi Rp 100.000/ton atau US$ 10,64/ton maka BCRnya 7,98.
Jika Zona 1 TPA Bantar Gebang direhab biayanya sekitar US$ 17,1 juta. Dengan bunga pinjaman 6%p.a, pada tahun ke 3 modal sudah kembali. Untuk seluruh zona TPA Bantar Gebang diperlukan dana sekitar US$ 80 juta saja dan disbursmentnya 5 tahap, kurun waktu sekitar 15 tahun. Masa pakai tidak terbatas karena direncanakan selalu siap isi ulang. Karena dayadukung tanah di Bantar Gebang termasuk baik/keras, maka biaya untuk konstruksi groundliner leachateproff bisa dikurangi sekitar 25%.
Coba bandingkan dengan Invessel Composting dan Incineration PLant dengan kapasitas olah yang sama.
3.000 tpd Incineration plant perlu dana sekitar Rp 4,3 Trilyun, jika sekarang PO dibuat, 5 tahun lagi baru operasi. Biaya operasi terutama untuk bahan bakar 50 liter/ton sampah, jadi sehari harus disiapkan tambahan BBM sebangai 15.000 liter. Pada saat musim hujan bisa lebih.
Jika kita pakai Anaerobic Invessel Composting & Energy Recovery, tarif Processing Feenya adalah US$ 25/ton sampah. Modal yang harus disediakan sekitar USD 400 juta. Dengan harga Processing fee segitu, PBPeriodnya sekitar 16 tahun. Sama dengan Incineration Plant, jika Purchase Ordernya dikeluarkan hari ini, 5 tahun lagi baru beroperasi. Masa operasi 20 tahun.
UU 26/2007 tentang penataan ruang telah diundangkan dan dengan dasar itu sudah waktunya RTRW Kabupaten/Kota direvisi dan harus mengalokasikan lahan untuk keperluan TPST-RSL.
Jika Pemerintah Kota Bekasi bisa menghitung tentang manfaat keberadaan TPA Bantar Gebang, dan mau mengkonversikan menerapkan teknologi Reusable Sanitary Landfill disitu, maka PAD Kota Bekasi dengan cepat akan bertambah berkesinambungan. Andaikata 10% Tipping Fee dianggap sebagai PAD, sehari Kota Bekasi dapat US$ 6ribu dari DKI Jakarta. Kalau PowerPlant LFillGas to Energy dihitung, hasilnya akan lebih dari itu.
1 hal yang perlu dilakukan oleh PemKot Bekasi, yaitu membebaskan lahan 200 meter sekeliling lokasi itu dari kawasan perumahan. Tapi anadaikata tidak bisa juga tidak masalah, minimum dibebaskan 50 meter kirikanan jalan masuk untuk dijadikan kawasan RTH khusus TPST-RSL bersama dengan lahan ex.TPA Bantar Gebang. Paling tidak akan bertambah Lahan RTH Kota bekasi seluas 400 Hektar. Karena Air Lindi diresirkulasi, maka biaya Ipal dapat dihemat, karena Gas Landfill dikendalikan dan dimanfaatkan maka kawasan disekitar TPST-RSL Bantar Gebang tidak bau busuk, masyarakat sekeliling fasilitas itu bisa mendapatkan biogas gratis (kalau boleh) untuk keperluan masak sehari-hari. Dari 1 ton sampah campuran bisa didapat sekitar 250 m3 Biogas (55%CH4).
Saat ini teknologi RSL sedang direncanakan BPPT untuk diterapkan untuk TPST-RSL Regional di prov NAD, melayani Kota Banda Aceh dan Kabupaten ACeh Besar. Direncanakan pada awal 2009 tahap pertama (9 Ha) sudah mulai diisi sampah. Kapasitas olah awal sebesar 200 ton/hari. Pembangunan tahap ke 2 sampai ke 5 (@ 18 Ha)tergantung jumlah sampah yang dihasilkan dan aktivitas 3R. Semakin besar lingkup wilayah Gerakan 3R semakin hemat pemakaian fasilitas ini. Sesuai rencana akan dibiayai konstruksi Zona 1 ini dari sumber Multi Donor Fund-BRR.
Kalau 460 lokasi TPA-Open Dumping yang ada di Indonesia saat ini dikonversikan memakai Teknologi RSL ini, maka akan ada tambahan 460 Biogas PowerPlant di Indonesia dan paling tidak akan ada tambahan lapangan kerja tetap sekitar 46.000 unit yang berada di lokasi TPST-RSL. Ini bisa karena pengadaan TPST-RSL itu berbeda dengan proyek mislnya bendungan (sekali bangun selesai). TPST-RSL setiap saat akan ada 2 jenis kerja terus-menerus, yaitu kerja pengisian sampah dan kerja sipil pembuatan tanggul tanah pembatas sampah. Pada saat gas sudah habis dan dilakukan Landfill-Mining, pada lokasi ini akan terjadi 4 jenis kerja, yaitu pengisian sampah, pembuatan tanggul tanah keliling, pembongkaran sampah matang, pengolahan kompos hasil tambang. Karena sistem pengolahannya Wet-CEll/sistem basah, maka tidak diperlukan tanah penutup harian, yang diperlukan hanya kompos campuran non food grade sebagai alternative daily Cover. Rencananya pemasoknya kalau bisa ya dari masyarakat pegiat Gerakan 3R.
Sekian untuk sementara tambahan informasi tentang teknologi Reusable Sanitary Landfill dan rencana kedepan, insyaallah.
..Read More..Baca Selengkapnya..
WASTE MANAGEMENT AND RECYCLING AT THE GRASSROOTS LEVEL / JAKARTA BAY-INDONESIA
By: Yoslan NurKey words: community development, coral reefs, social empowerment.
DIMENSION AND GEOGRAPHIC SITUATION
Jakarta Bay is located in the north of Jakarta. It is a rather shallow bay (averagedepth 15 m) covering an area of about 514 km2. The bay receives freshwater runoff from 13 rivers which cross the Jakarta Metropolitan Area where around 20 million people live. Kepulauan Seribu (ThousandIslands) is an archipelago within the bay which consist of 108 small islands, forming a chain of offshore islands stretching along some 80km in a NW - SE direction and 30 km from west to east. The islands are typically small (less than 10 ha on average) and reach an elevation of generally less than 3 m above sea level. With the expansion of theJakarta Metropolitan Area during the second half of this century, theJakarta Bay and Kepulauan Seribu environment has been increasingly affected by a range of human and natural impacts, including pollution, natural ecosystem transformation and non sustainable coastal resource exploitation. Kepulauan Seribu are a special case both in terms of environment and development. They are ecologically fragile and vulnerable, 3 out of 108 islands of Kepulauan Seribu have disappearedin the last 15 years. Their small size, limited resources, geographic dispersion and isolation from markets, place them at a disadvantage economically and prevent economies of scale.
DESCRIPTION
Since 1985, UNESCO, in collaboration with National and International Scientific institutes has been organising scientific campaigns for the collection of data on thestatus of coral reefs in Kepulauan Seribu. Ten years later, in 1995,UNESCO organised the second workshop to re-evaluate the condition ofthe coral reef in this archipelago. Following UNESCO-sponsored fieldw orkshops in 1985 and 1995, Jakarta Bay and Kepulauan Seribu have become the subject of a pilot project initiated in 1996, by the Coastal Regions and Small Islands Unit (CSI).The pilot project attempts to deal with the problems created by atropical coastal mega-city.
Efforts to reduce pressure on Jakarta Bay andKepulauan Seribu require immediate actions in two directions: (1)improvement in Jakarta's waste management and recycling in order toreduce the waste that flows from the city to the sea, and (2)socio-economic sustainable development of the local communities living on the islands and along Jakarta Bay.
Two aspects of the waste management project are:
(a) Composting of organic waste in Bintaro'straditional market. In cooperation with Yayasan Kirai Indonesia/NGO (from September 1997), wise waste management is being experimented with by making use of market organic waste. Training courses for organic matter recycling were organized on the market place. Two persons were responsible for collecting and subsequently composting the organicwaste. Then, using the "heap method", recycling of market organic waste began. At the end of the two months' project, they were able to achievea 30% reduction in their total waste. Compost has provided the local vendors with an income.
(b) Paper recycling and composting. Students of the Senior Public High School No. 34 in North Jakarta were trained tor recycle old paper. Through the 'Students Science Club' they now regularly produce very decorative stationary, which they sell to the public. They also produce many other schools, which are interested in following their example and they are willing to teach other groups.This idea of a 'recycling programme for schools' is a good way toeducate students to adopt 'wise attitudes' in relation to environmental problems.
One activity of the socio-economic sustainable development project was:
A social empowerment project in Kamal Muara (conducted by Social and Human Science Sector of UNESCO). Like the inhabitants of Kepulauan Seribu, most residents of Kamal Muara live below the poverty line. The goal of the project is therefore to encourage initiatives aimed at improving the quality of life andpromoting the exercise of citizen participation in urban governance.High priority has been given to ensure project sustainability and themultiplier effect. Two Indonesian NGOs, Bina Swadaya and Yayasan KiraiIndonesia, are now facilitating the implementation of follow-up activities. Bina Swadaya focuses on community self- governance andself-organization, skill training, small income generation and credit union activities. Yayasan Kirai concentrates its efforts on the improvement of the urban environment of Kamal Muara, through theorganization by the community itself of garbage collection, recycling and composting.
DISCUSSION
PARTICIPATORY PROCESS:
In association with local NGOs, waste management projects throughout the Jakarta area were initiated at a grass-root level. The activities consist of training in new waste practices in order to provide economic benefits to the participants. Recycling of organic matter forms the basis of most community waste management initiatives; training in composting with and without the use of worms meant that organic recycling could be implemented at both household and market levels.
CAPACITY BUILDING AND INSTITUTIONAL STRENGTHENING:
After some training in paper recycling, composting, and environmental education, the people of Banjarsari, Cilandak, South Jakarta, were encouraged to set up an Environmental Committee whose aim is the protection of the environment. A small recycling centre was created where the youth carry out: paper recycling, composting with worms and planting medicinal herbs, using the compost produced. Training for women's activities was also organised in situ for example making cottonbags out of flour sacking. The Centre is also used as a 'show room' for the products (recycling paper product, compost, cotton bags etc) to be sold to the public. So far the project is running smoothly.
SUSTAINABILITY:
A combination of scientific studies, waste management initiatives, training and educational programmes as well as the identification of alternative income generating activities should allow for long term sustainable development whilst providing immediate benefit for the local communities.
TRANSFERABILITY:
Some easily transferable activities are: composting market organic waste; paper recycling andcomposting; and social empowerment.
GENDER ISSUES:
In Kepulauan Seribu, the women's role is limited to domestic work or to help their husband. Their economic role needs to be improved. In order to reduce the frequency of destructive fishing practices, alternative incomes were proposed both for fishermen and for their wives. In Pari Island, seaweed cultivation has been chosen as an option to promote alternative income generation.This project has been initiated by LIPI (Indonesia Research Institute) and has already proved to be a success as there is a high national and international demand for seaweed. Duck farming was determined as asuitable occupation for women. It was launched (introduction of 300 ducks, involving 50 families) and a manual on duck farming techniques has been prepared and distributed to local communities during atraining course held in the island in 11 June 1998.
ENVIRONMENTAL AWARENESS:
To improve environmental awareness among young people living both in Jakarta and on the islands of Kepulauan Seribu, environmental education projects and public awareness campaigns are undertaken, in the knowledge that better understanding of the environment will lead to its protection. The target groups for education and training are: young people in elementary schools, Boy Scouts and Girl Guides. Also, teachers of Pulau Seribu will be offered the possibility of attending an in-service workshop and will subsequently transmit environmental awareness to their students in the islands.
DOCUMENTATION:
The preparation and implementation of the pilot project has been fully documented.
EVALUATION:
Waste management and composting activity in Jakarta Bay Pilot Project was successful. The issue that emerged after evaluation of these activities is the need to expand the programme beyond a grassroots level and develop perception among a wider community concerning solid waste as an economic resource. The products of paper recycling activities require improved of marketing.The duck farming project was not very appropriate because ducks need marshland and fresh water, which are scarce in the small islands like Kepualaun Seribu. Other economic activities have to be found as an income generation alternative. The social empowerment in Kalam Muarawill be continued.
To ensure the continuity of the ongoing pilot project, UNESCO is preparing a project for the integrated environmental development of the Jakarta Metropolitan Area. Community-based development, social empowerment and poverty alleviation in the context of coastal environment development are still the core of UNESCO-CSIactivities. See the second part of our contribution (A regional approach to environmental quality in a coastal mega-city / Jakarta-Indonesia).
..Read More..Baca Selengkapnya..
APLIKASI MEMBRAN KONTAKTOR UNTUK PEMISAHAN CO2
by Prayudi NoverriPemanasan global (global warming) merupakan permasalahan lingkungan yang telah banyak mendapat perhatian serius saat ini. Konsekuensi yang timbul akibat pemanasan global antara lain meningkatnya temperatur rata-rata bumi dan tinggi permukaan air laut, kemarau yang berkepanjangan, meluasnya gurun, adanya gelombang panas, terpecah belahnya ekosistem, dan berkurangnya aktivitas agrikultural. Gas CO2 memiliki kontribusi yang paling besar dalam efek rumah kaca, Berdasarkan observasi yang dilakukan laboratorium Mauna Loa, Hawaii, jumlah karbon dioksida di udara meningkat dengan cepat, dari 310 ppmv pada tahun 1958 sampai 370 ppmv di tahun 2001. Peningkatan jumlah karbon dioksida ini terutama disebabkan oleh penggunaan bahan bakar fosil yang memproduksi sekitar 24 milyar ton CO2 per tahun dan hanya setengahnya yang dapat diabsorb oleh proses alam.
CO2 dibutuhkan dalam jumlah kecil untuk siklus karbon di alam, seperti yang kita ketahui tumbuhan membutuhkan CO2 untuk proses fotosintesis. Tapi, CO2 dalam jumlah besar juga dimanfaatkan di dalam industri kimia. Beberapa aplikasi gas CO2 antara lain :
1. Minuman berkarbonasi
2. Proses pembuatan urea
3. Produksi etanol
4. Fire extinguisher
5. Dry ice
6. Supercritical carbon dioxide
Gas CO2 dalam jumlah besar dapat ditemukan pada gas buang yang dihasilkan dari peralatan industri seperti steam generator, furnace, blast furnace pada industri besi dan baja, rotary kiln pada industri semen, dan lain sebagainya. Secara prinsip, berbagai cara dapat digunakan untuk pemisahan CO2. Pemilihan metoda yang cocok tergantung pada beberapa parameter, seperti konsentrasi CO2 di aliran umpan, sifat alami komponen umpan, tekanan dan temperatur. Pemilihan proses pemisahan CO2 dapat dilihat pada gambar-1 dibawah.
Berdasarkan diagram tersebut, proses yang paling banyak digunakan untuk pemisahan CO2 adalah absorpsi cairan. Absorben yang digunakan harus mempunyai kapasitas yang besar terhadap CO2 dan harus bisa diregenerasi.
Membran Kontaktor untuk Pemisahan CO2
Membran Kontaktor versus Kontaktor Gas/Cair
Secara umum proses absorpsi dilakukan menggunakan kontaktor gas-cair. Perpindahan massa kontaktor gas-cair diperoleh dengan kontak langsung dan dispersi satu fasa ke fasa yang lainnya. Kontaktor industri diklasifikasikan ke dalam tiga kategori tergantung pada fasa terdispersinya.
1. Kontaktor dimana cairan mengalir sebagai film tipis (contoh: packed column, disc contactors, dll).
2. Kontaktor dimana gas didispersikan ke dalam fasa cairan (contoh: plate column, bubble column, mechanically agitated contactors, dll).
3. Kontaktor dimana cairan didispersikan ke dalam fasa gas (contoh: spray column, venturi scrubbers, dll).
Sayangnya kontaktor konvensional ini memiliki beberapa kekurangan, antara lain: konsumsi energi yang besar, susah dioperasikan karena seringnya muncul masalah seperti flooding, foaming, channeling, dan entrainment. Keterbatasan teknologi ini menyebabkan proses menjadi kurang efisien dan biaya yang mahal.
Gambar-2: Membran Hollow Fiber
Teknologi alternatif yang tepat untuk menggantikan proses kontaktor konvensional adalah membran kontaktor hollow fiber. Sekarang pertanyaannya ialah, mengapa demikian? Untuk menjawab hal tersebut, marilah kita meninjau beberapa keuntungan membran kontaktor dibandingkan dengan kontaktor konvensional, antara lain:
1. Kontak bersifat non-dispersif sehingga tidak mungkin terjadi flooding dan entrainment
2. Laju alir gas dan cairan lebih rendah dari kontaktor konvensional dan dapat bervariasi secara bebas
3. Luas permukaan kontak yang sangat besar, yaitu 500-1500 m2/m3. Luas ini jauh lebih besar dari pada luas permukaan kontaktor konvensional yaitu 100-250 m2/m3
4. Hold up pelarutnya rendah, sangat atraktif untuk pelarut yang mahal
5. Scale-up dapat dilakukan dengan mudah
Keuntungan yang diberikan oleh membran kontaktor menyebabkan ukuran kontaktor menjadi jauh lebih kecil daripada kontaktor konvesional.
Gambar-3: Kontak Non-Dispersif pada Membran Kontaktor
Membran Kontaktor Hollow fiber
Aplikasi membran ini menggunakan modul hollow fiber. Apakah hollow fiber itu sebenarnya? Hollow fiber dapat diartikan sebagai membran kapiler yang terdiri dari bagian tube dan shell, persis seperti heat exchanger. Pada membran kontaktor, absorben mengalir didalam tube sedangkan aliran gas akan mengalir di bagian shell atau bisa juga sebaliknya. Jenis membran yang digunakan bisa berupa membran porous maupun membran non-porous. Pada membran non-porous, membran berfungsi sebagai batas antara fasa gas dan fasa liquid. Sedangkan pada membran porous, terjadi proses selektif dan perpindahan partikel yang terkontrol dari fasa gas ke fasa cairan. Akan tetapi, membran porous menyebabkan transfer perpindahan massa dari gas ke cairan menjadi kecil akibat tahanan dari membran. Sehingga,membran porous lebih disukai pada aplikasi membran kontaktor.
Seperti yang dijelakan di atas, pada membran kontaktor terjadi kontak non-dispersif, yang artinya tidak terjadi kontak secara langsung antara absorben dan gas. Permukaan (interface) fluida/fluida terbentuk pada mulut pori membran, dan perpindahan massa akan terjadi melalui difusi pada permukaan fluida di dalam pori membran. Berbeda dengan jenis membran reverse osmosis ataupun nanofiltrasi yang menggunakan tekanan sebagai gaya dorong karena pada membran kontaktor gaya dorong yang digunakan adalah perbedaan konsentrasi. CO2 akan berpindah dari gas yang memiliki konsentrasi CO2 tinggi menuju cairan absorben yang memiliki konsentrasi CO2 rendah.
Perpindahan Massa dan Modelling pada Membran Kontaktor Gas/Cair
Perpindahan massa suatu komponen dari fasa gas ke dalam cairan yang mengalir di dalam membran hollow fiber terdiri dari tiga tahap, yaitu difusi solute dari fasa bulk gas ke permukaan membran, difusi melalui pori membran ke permukaan cairan, dan difusi dari permukaan cairan ke fasa bulk cairan. Koefisien perpindahan massa overall tergantung pada resisten perpindahan massa individual, untuk fasa gas (1/kg), membran (1/km), fasa cairan (1/mkLE) dengan persamaan sebagai berikut [Kreulen et al]:
E adalah enhancement factor yang menunjukkan peningkatan laju absorpsi karena reaksi kimia dan m adalah kelarutan fisik komponen gas di dalam cairan absorben. Sedangkan g ialah koefisien perpindahan massa berhubungan dengan hidrodinamik.
Target dalam proses membran kontaktor adalah terjadinya perpindahan massa yang besar dari aliran gas menuju cairan absorben. Permasalahan utama yang muncul pada membran absorber adalah wetting.
Gambar-4: (a) Membran kontaktor gas/cair non-wetted ; (b) Membran kontaktor gas/cair wetted
Peristiwa wetting disebabkan karena masuknya cairan absorben ke dalam pori membran yang menyebabkan terjadi peningkatan hambatan pada peristiwa perpindahan CO2 menuju cairan absorben sehingga terjadi penurunan koefisien perpindahan massa secara siginifikan. Untuk membran berpori, tekanan minimum dibutuhkan oleh cairan untuk melakukan penetrasi ke dalam pori. Tekanan ini disebut tekanan breakthrough dan untuk menghidari wetting, tekanan cairan harus berada di bawah tekanan breakthrough. Selain itu, ada faktor lain yang harus diperhatikan seperti ukuran pori membran, dan sifat material dari membran
Gambar-5: SEM. Hollow Fiber in Detail. OD=0.6 mm
Aplikasi Komersial Membran Kontaktor
Beberapa perusahaan yang telah menggunakan membran kontaktor gas/cair untuk pemisahan CO2 secara komersial:
• Kvaerner Oil & Gas and W.L. Gore & Associates GmbH mengembangkan membran gas absorpsi untuk pemisahan gas asam dari gas alam dan gas buang dari turbin gas offshore. Pada proses ini, membran hollow fiber PTFE digunakan dengan pelarut fisik (Morphysorb) dan kimia (alkanolamine)
• TNO Environment Energy and Process Innovation (Belanda) telah mengembangkan proses MGA untuk pemisahan CO2 dari gas buang menggunakan membran PP hollow fiber. Pelarut yang digunakan disebut CORAL yang merupakan campuran garam dan asam amino.
Saat ini, teknologi membran kontaktor bergerak ke arah pemakaian dual hollow fiber membrane untuk proses absorsi dan desorpsi secara simultan. Saat ini, pemakaian membran kontaktor hanya digunakan pada proses absorpsi, sedangkan proses regenerasi dilakukan dengan menggunakan temperatur tinggi untuk melepaskan gas CO2 dari cairan absorben. Dari sisi energi, hal ini sangat tidak efisien. Oleh karena itu,dikembangkan proses desorpsi yang juga dilakukan melalui membran.
Gambar-6: Dual Hollow Fiber Membrane for CO2 Separation
Demikian ialah salah satu dari sekian banyak fungsi membran yang berguna untuk melengkapi dan meningkatkan perfomansi teknologi pemisahan CO2 yang sudah ada. Anda tertarik?? **** Prayudi Noverri - Majari Magazine
Referensi: The membrane contactors: environmental applications and possibilities, State of the art and recent progress in membrane contactors
..Read More..Baca Selengkapnya..
Langganan:
Postingan (Atom)